Ada yang kurang disaat tidak ada dia. Ia adalah sosok manusia yang
selalu ada disaat kita susah dan senang, selalu ada disaat kita membutuhkan.
Dia bukan saudara kita, tetapi kesetiaannya telah mendarah daging. Tak ubahnya
seperti mata kita, disaat salah satu bagian tubuh kita sakit, ia ikut sedih dan
meneteskan air mata. Itulah gambaran seorang
sahabat. Sosok dara manis yang
berkulit putih dan wajah yang
berbinar-binar, hatinya yang cantik, secantik wajahnya merupakan sosok
yang tepat di jadikan seorang sahabat. Bukan karena parasnya yang cantik,
melainkan sikap dan tingkah lakunya yang santun, tutur katanya yang halus serta
cara ia bergaul membuat suasana hati menjadi tentram. Aku mengenalnya sejak 3
tahun yang lalu. Waktu itu, saat aku pertama kali masuk SMA aku belum kenal
seorang pun, saat itu suasana sangat aneh dan sangat asing bagi saya. Saat
kupandangi satu- persatu wajah yang asing itu, kesan pertama yang muncul dalam
benakku adalah “aneh” terdapat berbagai macam karakter yang bermacam-macam. Aku
berspekulasi apakah mereka-mereka pantas dijadikan seorang teman bahkan
sahabat?. Maklum waktu itu saya masih berumur 15 tahun. Masih sangat hati-hati
dan sering negative thinking. Tetapi, kucoba buang jauh perasaan itu, ku
beranikan diri untuk mencoba bergaul dengan mereka. Kucoba ulurkan tangan dan
memperkenalkan diri. Alhamdulillah…mereka merespon tawaranku, kami saling
berkenalan satu sama lain. Saat ku lontarkan senyuman, mereka membalasnya dengan
senyuman ringan. Lalu ku coba
nimbrung dan berusaha akrab dengan mereka.
Satu minggu berlalu sejak pertama masuk SMA, saya mulai mendapatkan
sedikit demi sedikit teman. Kesan pertama yang muncul saat pertama kali masuk
SMA, perlahan mulai pudar. Ternyata asumsi salah, telah menilai buruk kepada
mereka. Lambat laun saya mulai merasa
nyaman. Setelah selesai masa orientasi siswa (mos) kemudian waktunya pembagian
kelas. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku mendapatkan teman yang cocok
dijadikan sebagi teman? Aku hanya pasrah dan berharap saja. Tiba saatnya
pembagian kelas, satu-persatu dipanggil untuk ditentukan kelasnya. Satu-persatu
dipangil, setelah sekian lama menunggu, akhirnya tiba giliranku. Ternyata kelas
C yang diperuntukkan saya, kemudian kami disuruh baris dan kumpul sesuai dengan
kelas yang ditentukan masing-masing. Kupandangi satu-persatu teman baru saya
itu, ternyata tidak sedikit teman yang sudah kukenal sejak hari pertama saya
menginjakkan kaki di SMA. Setelah selesai pembagian kelas, tiba saatnya
memasuki ruang kelas dan mencari tempat duduk. Aku mulai mencari dan menentukan tempat mana yang
cocok untuk saya. Pokoknya yang nyaman, tidak teralu depan dan tidak terlalu
dibelakang, yang terpenting dapat menunjang proses belajar. Sialnya aku telat
menentukan tempat duduk, semua bangku penuh telah ada yang memili, yang tersisa
hanya satu di dekat jendela dan disamping seorang siswi. Aku hanya clingukan
pura-pura bingung, sejatinya saya malu. Maklum masih ABG. Kemudian tawaran
yang keluar dari mulutnya, “sini duduk
bersama saya” katanya. Kemudian saya mendekat dan tersipu malu. Kucoba
memberanikan diri memperkenalkan diri, saat kutatap matanya kesan pertama yang
muncul dibenakku adalah “cantik”. Wajahnya yang berseri-seri dan senyumnya yang
manis, membuatku penasaran untuk mengenalnya lebih jauh. Ternyata mamanya
Puspita, dia adalah seorang gadis desa sebelah. Kami pun ngobrol lebih dalam
lagi. Kita saling bercerita tentang pengalaman –pengalaman waktu kecil dan
menceritakan sesuatu yang tidak penting.
Seminggu berlalu, kami pun mulai saling akrab, tak uabahnya seperti
seorang teman, saling gobrol dan bertukar argumentasi pun tak luput. Segala
rutinitas yang kita jalani bersama, membuat kami semakin akrab dan kompak,
bahkan sedikit salah paham tak mampu menggoyahkan tali persahabatan kami.
Pernah suatu ketika saya lupa tidak megerjakan tugas rumah yang diberikan guru,
aku hanya pasrah kemudian dia tak canggung untuk memberikan tugasnya agar dapat
saya contek. Walapun tindakan saya itu sangat memalukan, tepi kelihatannya ia
ikhlas membantu saya. Kami saling membantu satu sama lain, aku juga tak segan-
segan membantunya ketika ia mengalami kesulitan. Disaat dia sedih, ku coba
untuk menghiburnya, menenagkan hatinya dan mmbuatnya menjadi ceria kembali,
Suatu ketika aku mengaami suatu masalah yang sangat berat, aku telah
difitnah mencuri sejumlah uang. Waktu itu saya sedang belajar didalam kelas
sendirian, semua teman sedang bermain diluar, maklum waktu itu saya sedang
sakit sehingga tidak ikut bermain dengan mereka. Singkat cerita, ada seorang
anak merasa kehilangan sejumlah uang. Kebetulan Cuma saya sendiri yang berada
dalam kelas tersebut. Semua orang menuduhku, menghujatkku yang aneh-aneh. aku
berusaha membela diriku dan berusaha menyakinkan bahwa aku tidak mengambilnya.
Disaat semua menghujat, tidak halnya dengan puspita, ia membelaku samapi
akhirnya kebenaran terungkap, ternyata tidak ada yang kehilangan uang , anak
tersebut hanya lupa menaruh uangnya saja.
Dia adalah sahabat sejati saya, ia mengajarkan saya arti dan pentingnya
seorang sahabat, persahabatan kami semakin erat, bahkan seperti saudara. mungkin lebih. dosa bila saya menykainya.
Tiga tahun sudah berlalu, saatnya kami berpisah. Hanya satu yang selalu kuingat
tentang dirinya, senyumnya yang manis itu. Kemarin saat terakhir ketemu, ia
memberiku sejumlah uang. Aku heran mengapa ia memberiku uang, ternyata ia
membayar sebuah hutang pulsa. Padahal
saya sudah melupakan dan mengikhlaskan itu. Katanya “kalau hutang
tetaplah hutang. Akupun pasrah dan tersenyum.
Posting Komentar
komentar harus sopan